top of page
Writer's pictureGenius Media

Balada Pengemis

Oleh: Robi Gunawan S.

Editor: M. Dzauhar Azani

Ilustrasi Pengemis (Sumber: Dreams Stop)

Beberapa minggu yang lalu, Indonesia sedang ramai diperbincangkan mengenai Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang salah satu pembahasannya adalah mengenai problematika gelandangan. Dilansir dari Detik, Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan Ham mengatakan bahwasanya gelandangan yang termasuk ke dalam RUU KUHP akan dikenakan hukuman 1 juta atau hukuman kerja sosial.


Menelisik lebih lanjut, apa itu gelandangan? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan gelandangan sebagai “orang yang berjalan kesana kemari tanpa tujuan dan orang yang tidak tentu pekerjaannya serta orang yang tidak memiliki tempat tinggal.”


Dalam pikiran kita, hal yang termasuk ke dalam gelandangan adalah orang yang tidur di kolong jembatan, anak-anak jalanan, pengemis dan bahkan menurut saya Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang berkeliaran merupakan termasuk gelandangan.


Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas salah satu hal yang termasuk ke dalam gelandangan, yakni pengemis. Pengemis berasal dari kalimat emis yang artinya menurut KBBI meminta-minta. Pengemis sering disandingkan dengan gelandangan dengan nama GEPENG (Gelandangan dan Pengemis) karena seperti definisi di atas, gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan tetap, bertahan hidup dari meminta-minta.


Sering kita jumpai para pengemis terutama di Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) saat berhenti warna merah. Tidak sedikit anak-anak kecil menjadi pengemis, terkadang karena perasaan iba, kita memberinya sedikit uang kita.



Disini penulis bukan mengajak agar pembaca menimbang kembali apakah perlu memberi uang kepada mereka (pengemis), namun saya mengajak pembaca melihat kembali alasan mereka melakukan itu. Alasan utama mereka melakukan hal tersebut adalah pekerjaan. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan kemampuan atau keterampilan yang kurang dimiliki oleh mereka yang melakukan hal demikian (mengemis).


Melihatnya dari sudut pandang sejarah


Penulis menemukan sebuah buku menarik, buku yang menggambarkan bagaimana mengemis itu sudah ada sejak zaman dahulu. Buku itu berjudul Twee Beken Bedelaar, yang jika diartikan menjadi 2 minggu menjadi pengemis. Buku ini ditulis oleh Bernard Canter pada awal abad 20 yang mana dia sendiri menyamar sebagai pengemis selama 2 minggu.

Sosok Bernard Canter (Sumber: Donder Berg Groep)

Dari pengalamannya tersebut, penyebab pengemis bisa memiliki pendapatan melebihi orang yang bekerja di kantor. Canter mengatakan “pengemis itu mendapat upah tiap hari atas kemurahan hati orang banyak, yang bahkan rata-rata pekerja dan pekerja kantor tidak mendapatkannya.”


Meski demikian, menurut Canter, pengemis tercipta atas apa yang diakukan oleh kalangan kaum atas. Kalangan kaum atas yang semakin kaya, mengambil tempat-tempat pekerjaan, penggusuran, dan manuverkekayaan, menjadikan pengemis itu tercipta.


Gambaran yang diceritakan Canter merupakan hal yang terjadi di Belanda. Namun,

dapat ditarik garis besarnya bahwa kemiskinan, pekerjaan serta kemampuan memengaruhi adanya pengemis.


Sebuah solusi


Setelah kita melihat bagaimana pengemis terbentuk, tentunya hal yang mendasar harus dilakukan adalah bagaimana mengatasinya? Apakah dibiarkan dan diterima sebagai sebuah kelakuan masyarakat?


Pengemis dengan Modus Menimang Bayi (Sumber: Harnas.co)

Di Indonesia, permasalahan GEPENG menjadi salah satu permasalahan yang berlarut-larut penyelesaiannya. Hal itu karena masih belum terjangkaunya kesejahteraan bagi masyarakat. Sebagai contoh adalah data penduduk yang dikumpulkan oleh Dinas Sosial Kab. Karang Asem yang menunjukkan anak terlantar pada 2015 sebanyak 1017.


Mengatasi permasalahan ini, tentunya tiap daerah memiliki perbedaan tersendiri, seperti di Kabupaten Karang Asem, yang beberapa daerahnya terdapat lereng curam dan kering menangani permasalahan GEPENG dengan cara pelatihan cara membuat dupa dan anyaman lontar yang bekerja sama dengan Yayasan Bakti Laksana.


Maka dari itu, mengatasi permasalahan GEPENG bisa memakai pendekatan kelokalan, seperti di Kab. Karang Asem, Di Cirebon sendiri, bagi para pembaca warganya pasti hafal kalimat dari Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin” mungkin bisa menjadi jalan awal bagi penanganan masalah GEPENG.

35 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page