top of page
Writer's pictureGenius Media

Batik sebagai bentuk Anti-Kolonialisme

Updated: Nov 11, 2018

Penulis : Aziz Ali Haerulloh

Editor : Tina S.M.


Ilustrasi batik bali (sumber: pixabay.com)

Batik pertama kali diperkenalkan pada 1500-an, batik mengalami tranformasi bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Mataram Islam. Terutama pada masa kepemimpinan Sultan Agung 1613-1645, kesultanan Mataram menguasai pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara laut Jawa.


Maka pertukaran barang dagang diantara kerajaan-kerajaan tradisional terbilang cukup massif.Puncak kejayaan kesultanan Mataram, adalah saat hampir seluruh wilayah

di Pulau Jawa dan Madura berada dibawah penguasaan Sultan Agung. Kesultanan Cirebon, Banten, Demak, dan Pajang menjadi daerah vassal Kesultanan Mataram. Dengan demikian pengaruhnya yang cukup besar ini, membawa dampak pada kehidupan seni dan budaya masyarakatnya.


Batik adalah kain yang lumrah dikenakan sehari-hari oleh elite keraton Mataram. Para elite keraton seperti raja, bangsawan, dan priyayi tinggi biasanya memakai kain batik sebagai bawahan atau sinjang dalam bahasa Sunda. Diberbagai daerah kekuasaan kesultanan Mataram

ditemukan corak dan motif batik yang beragam warna.


Batik adalah salah satu bentuk hegemoni budaya Jawa dalam hal ini kesultanan Mataram terhadap budaya Sunda dan Madura yang dahulu pernah dikuasainya. Sebagai contoh daerah Tasikmalaya yang secara etnisitas merupakan suku Sunda. Mewarisi budaya membatik dari kesultanan Mataram. Hingga terkenal motif batik Tasikmalaya.


Kain batik mengalami masa kejayaannya sebelum terjadinya Revolusi Industri 1.0 di Inggris dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Memasuki abad ke-18 dan 19, industri pakaian merambah ke seluruh dunia tidak terkecuali Nusantara yang berada di bawah kolonialisasi Belanda. Hal ini mengakibatkan adanya persinggungan awal gaya berpakaian, di Hindia Belanda yang pada saat itu masih bergantung terhadap produksi kain lokal seperti kain tenun dan batik.


Dengan berkembangnya industri tekstil di Inggris mengakibatkan masuknya barang dagangan dan kain asing, dari luar Eropa ke Hindia Belanda yang mengancam eksistensi kain batik sebagai bahan pakaian asli Nusantara yang telah diwarisi secara turun-temurun.


Perlu diketahui pada abad ke-18 dan 19 tidak semua masyarakat di Nusantara memiliki pakaian batik. Karena pada awalnya kain batik telah dikonstruksi sebagai pakaian keluarga raja, bangsawan, dan priyayi.


Ada hal yang menarik dengan adanya persinggungan antara kain katun yang diproduksi oleh mesin pemintal Inggris dengan kain batik tulis yang pada awal mulanya disebut kain batik karena pada saat itu belum dikenal sistem printing. Kain batik memasuki paruh kedua abad ke-20, mulai mengalami revolusi yang menakjubkan di satu sisi sekaligus menyedihkan disisi yang lain.


Betapa tidak, kain batik yang dahulunya merupakan suatu karya seniman batik Nusantara yang tersebar dari Pulau Sumatera hingga Papua. Saat ini menjadi kain yang diproduksi secara massal di fabriek-fabriek tekstil. Pengaruh kolonialisme tetap terasa sampai dengan sekarang, penyebab memudarnya nilai seni dari ragam corak batik saat ini.


Dahulu kain batik sangat dibanggakan oleh elite keraton sebab tidak semua orang bisa memilikinya. Namun saat ini keadaan berubah 180 derajat, ketika mesin cetak motif batik datang ke Indonesia pada 1970-an dan mulai menggeser kedudukan batik yang asli atau sekarang disebut batik tulis. Karena cara pembuatannya dengan menggunakan canting atau cap secara tradisional dengan menggunakan tangan. Batik tulis tersingkirkan oleh batik printing yang memiliki harga yang relatif murah di kios-kios pasar tradisional, pusat

perbelanjaan, dan online shop.


Lantas mengapa batik disebut sebagai bentuk Anti-Kolonialisme? Langkah awal Haji Samanhudi salah seorang pengusaha batik dari Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Ia mempelopori pembentukan organisasi Sarekat Dagang Islam yang bertujuan melindungi para pedagang dan pengusaha Islam. Dari persaingan dagang dengan para pedagang atau pengusaha Tionghoa yang memiliki modal besar dan Pemerintah Hindia Belanda yang ikut campur dalam mengatur dan memonopoli perdagangan.


Menurut Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Surakarta adalah produsen Utama industri batik yang terus mendominasi pasar lokal dan nasional pada 1859-1910. Pada masa itu, batik dalam rupa jarit, sarung, dodot, iket, dan

selendang menjadi semacam pakaian wajib bagi pribumi”.


Eksistensi batik tulis terus mempertahankan diri, ditengah arus barang dari luar yang begitu deras dan mendominasi pasar dalam negeri. Tentu sejak jaman kolonialisasi Belanda sampai Indonesia merdeka, kondisi batik tetap menjadi primadona bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terlepas dari batasan usia. Dengan semakin maraknya batik printing, hal ini turut menghilangkan identitas batik Indonesia yang sejak jaman pergerakan nasional menjadi simbol

perlawanan rakyat terjajah kepada para penjajah.


Indonesia sedang berada dipersimpangan jalan yang sulit, antara memberikan proteksi terhadap produk batik tulis dalam negeri atau membiarkan produksi batik printing dalam negeri

untuk memenuhi permintaan pasar dalam dan luar negeri. Jika pilihan kedua yang diambil, lantas bagaimana pemerintah Indonesia menjawab pertanyaan masyarakat dunia. Mengenai keotentikan batik Indonesia yang sedari dulu dikenal dengan batik tulis, bukan kain tekstil bermotif batik seperti batik printing saat ini.

123 views0 comments

Recent Posts

See All

Yorumlar


bottom of page