Editor: M. Dzauhar
Reporter: Dedi Junaedi
Kongres Kebudayaan Indonesia taun sekarang menginjak usia 100 tahun dan akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 5-9 Desember mendatang, tahun ini Kongres budaya akan melaksanakan amanat dari Undang-undang nomor 05 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan melibatkan para tokoh lintas pemangku kepentingan dalam kongres tersebut, baik dari daerah (Kabupaten, Provinsi) maupun dari Nasional.
Berbicara dengan kongres budaya yang pelaksanaannya menginjak tepat se-abad ini membuat kita bangga akan orang-orang terdahulu kita yang sudah sadar akan pentingnya kebudayaan dan eksistensinya haruslah diakui. Kongres Kebudayaan yang pertama diselenggarakan di Kota solo pada 05 Juli 1918, dulu bernama Congres Voor Javansche Cultuur Ontwikkeling .
Pemerintah Hindia Belanda awalnya hanya mengirim surat dari Batavia untuk Pimpinana Boedi Oetomo agar melaksanakan Kongres Bahasa Jawa, akan tetapi surat perintah tersebut ditolak oleh Pangeran Pangwodono yang kemudian dinobatkan menjadi Mangku-Negoro VII. Beliau malah menghendaki diadakannya Kongres Budaya dan usulnya pun mendapat dukungan dari para pelajar Bumiputera dan Pemerintah Hindia Belanda menyerah dan membiarkan pilihan para kaum terpelajar tersebut.
Munculnya Kongres Kebudayaan Nasional pertama ini amatlah penting karena terjadi ditengah-tengah peristiwa yang tak kalah penting dalam sejarah Bangsa Indonesia mulai dari Pendirian Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 yang dijadikan hari kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Menjadikan Kongres KebUdayaan pertama ini sebagai awal mula tumbuhnya kesadaran Budaya yang menciptakan Nasionalisme dan puncaknya 10 tahun kemudian adanya Sumpah Pemuda yang memperkuat rasa Persatuan yang didasari perbedaan.
Dua hari besar tersebut sudah ditetapakan sebagai hari bersejarah dan setiap tahunnya selalu diperingati, lantas mengapa tanggal 5 Juli belum ditetapkan sebagai hari Kongres kebudayaan Nasional, sebenarnya keinginan untuk menetapkan tanggal tersebut sudah sejak lama, namun ada kritikan yang cukup membuat dilema yaitu, seperti yang dipaparkan oleh Ir. Luluk Sumarso(Penasihat Paguban Puso Budhoyo) dalam jumpa Pers menjelang diselanggarakannya sarasehan kebudyaan bertajuk ‘Dinamika Kebudayaan Dalam Kehidupan Berbangsa dan Benegara' pada 05 Juli 2007, menyebutkan banyak pihak yang tidak setju tanggal tersebut ditetapakan sebagai har kongres Kebudyaan Nasional dikarenakan pada kongres pertama pihak yang terlibat mayoritas suku Jawa bahkan ada yang menyebut bahwa itu hanya Kongres Kebudayaan Jawa saja sehingga suku-suku di Indonesia kurang mendukung tanggal tersebut sebagai hari Kongres Kebudayaan.
Sebenara\nya pada 2003 Isu seperti ini sempat disinggung dalam Kongres kebudayaan 2003 di Bukittinggi dengan judul ‘Sekilas Kongres Kebudayaan sebelum dan sesudah Indonesia Merdeka'. Harian Republika bahkan mengeluarakan berita yang berjudul ‘ Kongres Kebudayaan, langkah patah-patah’. Inti dari beritanya menjelaskan bahwa Kongres kebudayaan pada saat itu di dominasi oleh Kebudayaan Jawa apalagi kongres yang dilaksanakan sebelum kemerdekaan. Pandangan ini memang tidak semuanya salah karena memang kongres kebudyaan digagas oleh orang Jawa dan tempat pertamanya pun di Jawa.
Kongres kebudayaan yang Jelas memberikan dampAk yang baik terutama dalam menumbuhkan rasa Nasionalisme karena sejak saat itu bangsa Indonesia sudah paham akan keragaman yang mereka miliki dan mereka haruslah bersatu dengan membuKa kongres kebudayaan ini menjadi wadahnya. Selanjutnya setelah kongres kebudayaan 1918 rutin diadakan kongres-kongres kebudayaan tempatnya pun berdeda-beda tiap pelaksanaanya hal Ini merupakan wujud bahwa Kongres Kebudayaan bukan hanya milik budaya etnis tertentu melainkan budaya Nusantara.
Comments