Reporter: Robi Gunawan
Editor: M. Dzauhar
Beberapa waktu lalu, Indonesia sedang dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) benomor 135/PUU-XIII/2015. Putusan ini berangkat dari uji Pasal 57 ayat (3) huruf a yang salah satu isinya adalah pemilih yang boleh memilih dalam politik di Indonesia adalah tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
Uji sidang ini dimulai lama sebenarnya, namun akhir-akhir ini mengeruak setelah Partai Gerinda menolak hasil uji sidang tersebut. Inti dari uji sidang tersebut adalah negara harus memperlakukan semua warga negaranya dengan adil dalam politik, tak terkecuali orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Dilansir dari Jawapos, hasil dari uji sidang tersebut diterbitkan dengan putusan MK di atas, dengan beberapa syarat bahwa harus ada surat dari dokter, berumur 17 tahun dan memiliki e-ktp juga. Karena menurut Pramono Ubaid Tanthowi (Komisioner Komisi Pemilihan Umum) bahwa bisa jadi mereka saat pencoblosan sembuh dan dokter mengizinkannya mencoblos.
Menanggai hal demikian, haruslah menyeluruh. Menurut penulis, tujuan awal uji sidang terkait Pasal 57 ayat (3) huruf a memang hanya agar para ODGJ tersebut diperlakukan adil dalam pemilihan umum, bukan dalam pencoblosan. Hal itu juga senada dengan pernyataan Pramono yang bisa saja sembuh saat pencoblosan. Sehingga maksud dari uji sidang tersebut kemungkinan adalah melindungi hak ODGJ sebagai pemilih, dan menganggapnya berhak memilih, namun belum tentu berhak mencoblos. Diperbolehkan mencoblos jikalau dokter memberi lampu hijau.
Namun, menurut penulis, harus lebih diperhatikan lagi, bagaimana mereka mencoblos nanti jika diizinkan? Terlebih apakah mereka mendapati calon-calon mengunjungi mereka (para ODGJ)? Hal ini menurut saya akan riskan, jika mereka saja tidak mengetahui apa yang akan mereka pilih, lebih jauh, akan terjadi kecurangan dalam pemilu.
Mengingat pasal itu juga, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud ODGJ adalah yang berada dalam pengawasan, bagaimana dengan mereka yang berada di jalanan? Bisa jadi mereka juga memiliki e-ktp tapi mereka belum tersentuh seperti ODGJ lainnya yang berada dalam pengawasan.
Salah satu kasus tersebut adalah yang berada di Banten. Berdasarakan yang dilansir dari Bantenhits.com, KPU Banten kesulitan mendata ODGJ di jalanan. Maka dari itu, harus dibentuknya manajemen pemilihan khusus agar masalah ini terselesaikan, ataukah memang uji pasal tersebut adalah untuk ODGJ yang dalam pengawasan saja? Tidak melingkupi ODGJ di jalanan yang bahkan mungkin memiliki e-ktp?
Comments