Oleh: M. Dzauhar
Editor: M. Dzauhar
“Pembakaran naskah tersebut adalah hal yang tidak akan bisa saya maafkan! Pembakaran buku sama dengan perbuatan setan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya budaya mereka,”
Berikut ungkapan Pramoedya Ananta Toer tatkala karya-karyanya dibakar setelah ia sendiri ditangkap pasca Peritiwa G30S tepatnya 13 Oktober 1965, dikutip dari Andre Vltchek dan Rossie Indira dalam buku berjudul Saya Terbakar Amarah Sendirian.
Penulis secara pribadi mengetahui sosok Pram (panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer) dari bukunya yang berjudul Jalan Raya Pos Jalan Daendels. Selain membaca tulisannya yang terkesan sangat historis, penulis secara tidak sengaja menyelami profil hidupnya yang penuh penahanan serta karyanya banyak dilarang atau dimusnahkan.
Latar belakangnya sebagai tokoh Lekra yang notabene terafiliasi dengan PKI menjadi penyebabnya. Sentimen Komunistophobia yang dihembuskan oleh kelompok kepentingan tertentu dirasa cukup berhasil membuatnya serta karya sempat menghilang selama beberapa waktu.
Meski begitu, tidak disangka karya-karyanya yang diangap berisi ajaran komunisme pada Masa Orde Baru ini, diadaptasi menjadi dua film layar lebar dan tayang secara bersamaan sekitar bulan Agustus tahun ini atau bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan.
Karya yang dimaksud adalah Bumi Manusia yang terbit pertama kali pada tahun 1980 dan Perburuan yang terbit pertama kali tahun 1950. Kedua karya tersebut sama-sama pernah merasakan dilarang oleh pemerintah dan dibakar wujudnya hingga menjadi abu.
Tetapi saat ini, kedua karya tersebut bahkan tokoh utama maupun sampingannya sama-sama diperankan oleh para aktor ternama yang karir serta eksistensinya sedang hits saat ini. Seperti Iqbal Ramadhan yang memerankan Minke sebagai tokoh utama dalam film Bumi Manusia, dan Adipati Dolken yang memerankan tokoh Hardo dalam film Perburuan.
Meski memiliki latar cerita yang masing berbeda, seperti Minke dalam film Bumi Manusia adalah seorang pribumi terdidik dan revolusioner yang gencar menyuarakan perlawan terhadap kolonialisme Belanda, lalu Hardo adalah bekas serdadu Seinendan yang melarikan diri seraya bertahan setelah ia bersama kawan-kawannya dahulu memberontak terhadap Jepang.
Keduanya merupakan sebuah keping-keping riwayat daripada idealisme generasi muda yang mungkin ditangkap lalu kemudian di dokumentasikan oleh Pram dalam bentuk sebuah karya literasi, sehingga dapat dinikmati oleh genderasi di kemudian hari
Rilisnya film tersebut, selain dapat menjadi wujud eksisnya film fiksi sejarah yang menurut penulis sudah jarang terlihat, juga dapat menjadi sebuah refleksi sejarah yang edukatif nan rekreatif bagi generasi muda saat ini.Generasi muda saat termasuk penulis di dalamnya tengah meraba-raba masa lalu negeri ini yang seakan sarat dengan kepentingan atau narasi tertentu.
Parahnya jikalau generasi muda kemudian menerimanya tanpa pembandingan ataupun verifikasi, sehingga kemudian menjadi dogma yang tertanam kuat. Film semacam Bumi Manusia dan Perburuan, diharapkan dapat menjadi sebuah variasi daripada perspektif terhadap riwayat negeri ini.
Sementara itu, masih banyak karya fiksi lain yang dahulu serupa nasibnya dengan karya Pram, tetapi saat ini hanya beberapa saja yang tahu atau setidaknya ingat, seperti Tandus karya Rukiah S yang pernah memenangkan hadiah Sastra Nasional pada 1952.
Kedepannya juga diharapkan banyak film Indonesia mengadaptasi karya sastra terdahulu yang sekarang ini mungkin hanya diketahui oleh peminat satsra ataupun akademisi Sastra Indonesia saja. Sehingga film Indonesia tidak terus didominasi oleh karya yang berorientasi pada keuntungan materi ataupun memberi harapan pada influencer media sosial.
Comentarios