top of page
Writer's pictureGenius Media

Kerumunan Sarinah dan Memori Kolektif

Oleh: M. Dzauhar Azani


Ketika penulis baru tahu kabar soal kerumunan yang lagi ngerayain penutupan Restoran McDonald's di Sarinah saat lagi jalannya PSBB di DKI Jakarta, sempet rasanya ingin mencari akun medsos orang yang mungkin kebetulan di kerumunan tersebut lewat tagar (hashtag), lalu penulis maki-maki sampai orang itu pundung.


Tetapi di satu sisi penulis tertarik dengan pernyataan seorang psikolog klinis Puti Alam Intan yang melalui situs Voice of Indonesia mengatakan bahwa selain memang jelas akan menimbulkan klaster COVID-19, kerumunan tersebut merupakan imbas dari upaya nostalgia yang mungkin menjadi alasan beberapa orang di kerumunan tersebut.


Ujungnya penulis lalu mempelajari makna nostalgia tersebut yang ternyata merupakan salah satu proses daripada memori kolektif orang-orang di kerumunan tersebut, lantas apakah itu memori kolektif?


Seputar Memori Kolektif dan Kaitannya


Menurut Willieam Hirst dan David Mannier dalam artikel mereka yang berjudul Towards a psychology of collective memory (2008) mengatakan arti dari memori kolektif ialah kumpulan memori, pengetahuan, dan informasi bersama dari suatu kelompok sosial yang secara signifikan terkait dengan identitas kelompok.


Pastinya memori tersebut ialah berupa satu peristiwa yang dialami oleh kelompok sosial tersebut yang secara memori individu yang berbeda isinya, tetapi memliki satu makna serupa yang kemudian jadi satu pengikat dengan individu lain yang juga merasakannya.


Dalam kasus kerumunan McDonald's Sarinah, terlebih dahulu kita mengetahui bahwa restoran tersebut merupakan McDonald's pertama di Indonesia sejak 23 Februari 1993, sekaligus yang keempat di kawasan Asia Tenggara setelah Thailand yaitu 23 Februari 1986.

Dua orang yang tengah berswafoto (selfie) dekat patung Ronald McDonald yang berada di McDonald's Sarinah (Sumber: The Jakarta Post)

Selain itu terdapat peristiwa penting terjadi di restoran ini, seperti pernah dikunjunginya restoran cepat saji tersebut oleh petinju legendaris Muhammad Ali yang saat itu singgah di Indonesia pada 1996 dan bahkan menraktir warga Jakarta yang tengah berkunjung saat itu.


Terdapat pula mungkin peristiwa kecil bagi beberapa individu tertentu seperti ulang tahun, merayakan kelulusan, sekedar nongkrong ria bersama teman dekat, tempat menyatakan cnta atau tempat mencari nafkah pertama.


Sedangkan kelompok sosial yang dimaksud diperjelas oleh Henry L. Roediger dkk melaulu artikel jurnal Collective memory: a new arena of cognitive study (2015), mencakup kategori bangsa, generasi, dan komunitas yang ada.


Bisa dikatakan mereka yang mungkin menjadi bagian dari kerumunan tersebut ialah generasi 90-an yang secara kebetulan menjadi saksi hidup pertama kali dibukanya McDonald's Sarinah atau ketika Muhammad Ali mengunjungi restoran tersebut.

Contoh cuitan dokumentasi ketika Muhammad Ali berkunjung ke McDonald's Sarinah. Bisa jadi pemilik akun twitter adalah saksi hidup atau penyampai secara tidak langsung saksi hidup peritiwa tersebut (Sumber: Tiwtter/pra_dypta)

Selain itu bisa jadi mereka termasuk kategori komunitas ialah para pegawai kantoran atau warga disekitar Jakarta yang pernah atau beberapa kali melepaskan rasa lapar mereka , sampai para pegawai lama yang pernah bekerja di McDonald's Sarinah.


Kemudian memori yang terekam dan disimpan menurut Budiawan dalam bukunya yaitu Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto (2004), seolah dihadirkan kembali pada masa kini lewat penuturan (tulisan atau lisan) ,maupun visual yang merepresentasikan peristiwa tersebut.


Menurut penelusuran penulis, beredar di internet baik melalui situs berita maupun media sosial foto-foto yang menggambarkan kondisi atau peristiwa penting terjadi di McDonald's Sarinah sekitar tahun 1990-an hingga momen individu ketika berada di sana.

Contoh foto sekaligus unggahan yang membangkitkan memori kolektif terhadap Mc Donald's Sarinah (Sumber: Twitter/Generasi90-an)

Meski demikian memori kolektif tidak serta merta menjadi sebuah pembenaran terjadinya kerumunan tersebut. Baik para pegunjung maupun pengelola tentu memiliki kepentingan yang sama, tetapi tentunya tetap menyadari keadaan yang sedng terjadi.


Jangan sampai maksud hati bernostalgia, tetapi malah natinya menjadi sumber tersebarnya virus COVID-19 yang mungkin lebih banyak penderitanya dan luas lagi jangkauan wilayahnya di Indonesia, khsusunya di Jakarta.

24 views0 comments

댓글


bottom of page