Oleh: M. Dzauhar
Editor: M. Dzauhar
Minggu lalu warganet diramaikan dengan viralnya seorang pemuda yang merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan tertipu oleh kekasihnya yang merupakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Taiwan. Hal ini terjadi ketika TKI bernama Yusuf ini membuka cadar yang menutupi wajah kekasihnya ketika akan dilangsungkan akad nikah mereka berdua di Taiwan, ternyata wajahnya tidak sesuai dengan yang selama ini dikirimkan via media sosial.
Dari peristiwa tersebut, ramai pula komentar dari warganet bahwa cadar atau niqab ternyata sebagai dalih untuk menutupi wajah seorang perempuan yang tidak rupawan. Mungkinkah komentar tersebut menjadi sebuah stigma baru bagi seorang perempuan yang mengenakan cadar?
Beragam stigma memang beragam dilayangkan kepada perempuan bercadar dari mulai mereka yang mengikuti gerakan Hijrah yang saat ini tengah ramai ataupun terjangkit radikalisme ataupun ditakutkan terlibat tindakan terorisme buktinya dalam beberapa kasus terorisme para pelaku kerap bercadar.
Walaupun juga tidak bisa diputuskan secara pasti mereka identik dengan radikalisme ataupun terorisme, karena selain beralasan sebagai sekedar bentuk mewujudkan syariat dalam menutup aurat, mereka juga masih memiliki rasa nasionalis yang diwujudkan secara seremonial. Seperti Paskibraka Bercadar dari Pondok Pesantren Tarekat Al-Idrisiyah yang sempat viral pada 2017.
Meski demikian hal tersebut tidak menghalangi Parlemen Belanda yang mulai 1 Agustus 2019 mulai mengesahkan undang-undang yang melarang pemakaian cadar di tempat umum. Dilansir dari AFP, disahkannya undang-undang tersebut dimaksudkan demi mewujudkan keamanan dalam negeri.
Ternyata selain cadar, pakaian seperti balaclava atau disebut juga sabo juga termasuk yang dilarang untuk dikenakan. Kalaupun sesuai dengan maksud disahkannya undang-undang tersebut, memang selama ini dalam realita ataupun lewat budaya populer pemakaian balaclava meski awalnya mencegah wajah agar tidak terkena debu atau menghangatkan wajah dari hawa dingin, tetapi identik dengan para pelaku kejahatan dari mulai pencurian, perampokan, hingga terorisme sehingga menjadi alasan mengapa benda tersbut juga disebut topeng maling.
Selain pelaku kejahatan, sejauh penelusuran penulis balaclava juga dapat menjadi objek pemuas hasrat seksual atau Fetishisme meski penggunaannya tidak se-besar pengaruhnya dibanding dengan pakaian Zentai.
Zentai (dalam bahasa Jepang zenshin taitsu) atau disebut juga morphsuit memang dapat menjadi objek fetishisme yang merupakan kelainan seksual, sebab bentuknya mengikuti badan dan bahannya dari mulai lycra hingga spandex menurut seorang penggunanya yang tidak mau disebutkan namanya dapat memancing hasrat.
Padahal pakaian ini menjadi trend pada 2016 di Jepang untuk mereka yang ingin mengekspresikan jiwa mereka secara bebas. Dilansir dari CNN Indonesia, rata-ratap pengguna zentai yang di Tokyo saja mencapai 3000 orang adalah para pekerja yang seringkali menderita stress.
Maka tensi stress tersebut disalurkan melalui zentai, karena kata zentai menurut mereka mengandung kata Zenshin yang merupakan sebuatan untuk ajaran Zen. Ajaran tersebut menekankan pada meditasi diri, sehingga mengenakan zentai seraya mengekspresikan diri dianggap sebagai bentuk meditasi.
Pro dan Kontra terhadap pakaian tersebut kembali pada mereka sesuai kapasitas dan nilai yang dianut, seperti pendapat Howard S Becker dalam bukunya berjudul Outsider (1973), labeling atau stigma yang ada sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Sayangnya, jika oknum-oknum yang bisa dikatakan menyalahgunakannya serta menunjukan eksitensinya terus muncul, akibatnya yang lain (yang tidak menyalahgunakan) juga terkena stigma, atau stigma tersebut akan menjadi label abadi.
Comments