Oleh: T.C. Bintang Saputri
Editor: M.Dzauhar
Politik seringkali digambarkan dengan sudut pandang yang timpang. Perang,
perebutan kekuasaan, pembunuhan, kekerasan, dan sederet gelar lain yang lebih mendekati
Ares dibanding Athena. Zeus dibanding Hera. Dan tentu, sangat jauh dari Aphrodite.
Gagasan ini juga dipromosikan dengan gencar, baik dalam agama, maupun naskah drama.
Tak terkecuali salah satu serial televisi paling populer belakangan ini, Game Of Thrones.
Dalam tayangan yang memanjakan penontonnya dengan pembunuhan, seks dan mutilasi,
Game of Thrones juga mempropagandakan dominasi kuasa maskulin atas feminin .
Namun bila kita melihat lebih dalam, ada beberapa cerita yang bisa kita kaji terkait wacana kuasafeminin ini. Topik yang masih jarang dianggap sebagai pemenang, bahkan dewasa ini.
House Tyrell mengawali eksistensinya bukan dengan peperangan, melainkan apa
yang biasa diasosiasikan dengan nilai – nilai feminin, dengan menyerahkan diri.
Melihat politik House of Tyrell
Dengan secara sukarela memilih sisi yang menang, House Tyrell bukan hanya mendapatkan
keamanan dan perlindungan dalam peperangan, namun juga setelah perang berakhir dan
dimulai lagi.
Kondisi ini membuatnya mampu melindungi wilayahnya, mengembangkan
sektor pertanian yang merupakan komoditas utamanya, serta berkuasa bersama rezim yang
menang tanpa kehilangan suatu apapun.
Dengan segala kualitas dan persona ‘pecinta damai’yang dibangun ini, House Tyrell dicintai tidak hanya oleh rakyatnya, tapi juga bangsawandan rakyat dari wilayah lain. Terutama karena House Tyrell menyediakan segala bentuk kenyamanan yang dimimpikan saat perang, seperti buah – buahan, ternak, dan minuman anggur, tanpa pernah sekalipun menampilkan sisi agresif.
Berbeda dengan wilayah lainnya yang menempatkan lelaki sebagai pusat semesta,
House Tyrell dipimpin oleh perempuan – perempuan yang saling mendukung, saling
melindungi, dan jauh dari kebuasaan yang ditampilkan wilayah lainnya.
Adapun dalam memperkuat kekuasaannya, House Tyrell aman dalam jalan pernikahan yang dipilihnya. Salah satunya adalah adalah Lady Margaery Tyrell yang menikahi tiga lelaki paling
berpengaruh saat itu, Lord Renly Baratheon, Raja Joffrey Lannister dan Raja Tommen
Lannister. Dalam jalan ini, Lady Margaery Tyrell menguasai segala hal yang diperlukan,
kecerdasan, manipulasi, dan daya pikat yang tak mampu ditolak.
Feminitas House of Tyrell
House Tyrell juga memiliki semangat yang sangat feminin, dengan lambangnya yaitu
mawar merah berlatar hijau, dan slogannya “Growing Strong”. Mawar merah melambangkan
feminitas, daya pikat, dan cinta. Adapun slogannya ‘growing’ alias tumbuh merujuk pada
alam yang menjadi sumber kehidupan, dan ‘strong’ yang berarti kuat.
Slogan ini menunjukan akan harapan untuk mencapai kekuasaan dengan kekuasaan atas diri, dan bukan menyerang pihak lain. Namun seperti mawar yang berduri, dan dewi bumi Gaia, bila dirinya diganggu, kemarahannya akan begitu merusak dan menakutkan. Hal ini berlaku, salah satunya, saat Raja Joffrey diracuni di pesta pernikahannya, tak ada yang mencurigai keterlibatan House
Tyrell didalamnya, meski posisinya sangatlah memungkinkan. Adapun ketika keluarganya
dipenjarakan, Lady Olenna Tyrell memutuskan semua aktvitas perdagangannya dengan
House Lannister, yang akan mengakibatkan ribuan orang di wilayah itu kelaparan dan
meninggal, setelah tentu saja berusaha menggulingkan pemimpinnya.
Semangat ini juga diberlakukan diluar wilayahnya, bila House Tyrell menganggap
pihak itu memenuhi syarat. Hal ini ditujukan dengan aliansinya dengan Lady Sansa dari
House Stark. Lady Margaery Tyrell melindung Ladyi Sansa, melepaskannya dari kewajiban
menikahi lelaki yang senang menyiksa, dan memberikannya banyak pelajaran.
Salah satunya adalah mengenai pertahanan diri gaya politik feminin, “Perempuan dalam posisi kita harus mengusahakan yang terbaik dari setiap keadaan.” Dimana kekuasaan kita akan lebih
produktif bila kita mengenali diri kita, apa yang kita miliki, dan menggunakannya sebisa
mungkin untuk memikat lawan yang tak mampu dihadapi.
Aliansi lain yang dibangun House Tyrell berdasarkan semangat persaudarian ini adalah dengan House Targaryen, yang dipimpin oleh Daenerys Stormborn, setelah pengkhianatan yang dilakukan House Lannister. Nasihat lain juga disampaikan kepada sekutunya ini, “Kau tau caraku dapat bertahan selama ini? Aku mengabaikan laki-laki.”
Persepektif baru mengenai kekuasaan feminin tentu sangat dibutuhkan. Terutama
karena wacana umum yang mendominasi topik ini biasanya hanya berbentuk pergantian
peran, dimana perempuan harus membuang ‘feminitasnya’ untuk menjadi pemilik kuasa
feminin, misalnya yang ditampilkan dalam trilogi The Hunger Games.
Namun politik anggota House Tyrell memberikan angin segar, khususnya mengenai dinamika politik berwajah feminin, yang idealnya mampu memberikan kebebasan pada perempuan untuk
memilih wajah kuasa apapun, bukan menempatkannya ke dalam kotak penuh standar baru,
yang ditetapkan, justru oleh saudarinya sendiri.
Comments