top of page
Writer's pictureGenius Media

Agama Wargi Adat Sunda

Oleh: Oki (Kontributor)

Potret Makam Tokoh Sunda Wiwitanoleh Satpol PP Kabupaten Kuningan, penyegelan ini menimbulkan polemik sekaligus mengangkat kembali kedudukan masyarakat Sunda Wiwitan (Sumber: Liputan6.com)

Di kala agama atau kepercayaan seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Kong Huchu mendapat tempat dan pengakuan, terdapat agama atau kepercayaan lainnya yang punya tempat tapi sayangnya tanpa pengakuan. Buktinya mereka tidak dapat hak untuk menyatakan agama atau kepercayaan mereka di Kartu Tanda Penduduk.


Padahal agama atau kepercayaan tersebut sudah ada sebelum agama atau kepercayaan yang diakui tiba dan dianut secara lokal oleh masyarakat di berbagai penjuru Nusantara dan masih ada, meskipun hanya dianggap bagian dari budaya. Salah satunya menurut penulis adalah Sunda Wiwitan.


Baru-baru ini penulis cukup terkejut dengan berita adanya penyegelan oleh Satpol PP Kabupaten Kuningan terhadap makam tokoh Sunda Wiwitan masyarakat adat Cigugur. Seolah kejadian tersebut sebagai tindakan tidak menghargai eksistensi kepercayaan Sunda Wiwitan yang telah mengakar sejak lama.


Seputar Sunda Wiwitan

Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur tengah melakukan ritual Pesta Dadung dalam rangka tradisi upacara Seren Taun (Sumber: Pemkab Kuningan)

Edi S. Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995), menurut naskah kuna Sunda Carita Parahiyangan, Sunda Wiwitan disebut agama Jatisunda. Isi ajaran intinya bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Sanghyang Kersa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki).


Dia disebut juga sebagai Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Séda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua Dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Yama dan yang lainnya) tunduk kepada Batara Séda Niskala.


Kepercayan ini masih dianut masyarakat adat Sunda seperti Kanekes di Lebak, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul di Sukabumi, Kampung Naga di Tasikmalaya, Cigugur di Kuningan, hingga beberapa wilayah di Cirebon.


Etimologi Sanghyang


Sanghyang merupakan sebuah kosa kata khas Sunda. Akar kata sanghyang adalah hiyang yang mendapat tambahan kata sandang sang.


Edi S. Ekadjati dalam bukunya yang lain Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran (2005), dalam konsepsi budaya Sunda, hiyang mengandung makna yang gaib, suci, keramat; biasanya digunakan untuk menunjukkan Tuhan, dewa, tempat keramat, benda keramat. Sang merupakan kata sandang untuk menyatakan penghormatan


Menurut mitologi masyarakat Kanékés (Baduy), masyarakat Sunda lainnya yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, ada tiga macam alam dalam kehidupan ini.

Masyarakat Sunda Wiwitan tengan melakukan tradisi upacara Seren Taun atau wujud rasa syukur atas hasil panen kepada Sanghyang Kersa (Sumber: Radar Cirebon)

Pertama, Buana Nyungcung yang merupakan tempat tinggal Sanghyang Kersa, letaknya paling atas. Kedua, Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lainnya berdiam, dan paling bawah. Ketiga, Buana Larang, neraka.


Menurut Edi, lahirnya konsep Sanghyang dalam kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan kreasi pemikiran daripada penganut Sunda Wiwitan itu sendiri. Hiyang bukan berasal dari jiwa manusia yang telah mati, melainkan terbentuk dengan sendirinya.


Bagi penganut Sunda Wiwitan, hiyang itu merupakan sesuatu yang gaib, diyakini adanya, bersifat tunggal, dan menguasai seluruh alam. Dewa-dewa agama Hindu tetap diakui dan dipercayai, tetapi kedudukannya menurun, bukan lagi sebagai Yang Utama, namun hanya sebagai pembantu Sanghyang tersebut.


Riwayat Konsep Sanghyang


Potret perempuan paruh baya yang tengah memanjatkan doa dalam rangka tradisi Ngertakeun Bumi Lamba di kawasan Gunung Tangkuban Perahu (Sumber: Mongabay)

Konsep hiyang ini pertama kali muncul dalam teks prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) peninggalan Sri Jayabhupati, raja Kerajaan Sunda. Dalam hal ini hiyang atau Sanghyang ditempatkan pada lokasi suci keagamaan (kabuyutan) yang dinamai Sanghyang Tapak.


Dengan demikian lokasi hiyang ini masih berada di dunia ini. Isi dari prasasti itu sendiri merupakan seruan dan permohonan pada para dewa agar siapapun yang mengganggu kabuyutan Sanghyang Tapak dikutuk dan dihukum mati secara mengerikan.


Para dewa itu merupakan dewa kelompok Hindu-Siwa. Ini bisa ditafsirkan bahwa pada saat itu telah terjadi sinkretisme kepercayaan lokal Sunda dengan agama Hindu aliran Siwa dimana lokasi hiyang yang menjadi tempat kabuyutan itu dijaga oleh para dewa aliran Hindu-Siwa terutama Siwa, Agastya, Nandiswara, Mahakala, dan Durga.



22 views0 comments

Comments


bottom of page