Oleh: Anisa Sebastian (Magang)
Editor: M.Dzauhar
Aksi demo mahasiswa di berbagai tempat memang sedikit mereda. Namun jawaban atas ketidakpuasan rakyat Indonesia belum menemukan titik yang senada. Belum lagi tuduhan “ditunggangi” oleh kelompok tertentu seakan memperkeruh suasana.
Ironisnya, muncul pernyataan baru yang menyatakan bahwa aksi yang dilakukan mahasiswa akan mengarah kepada Islam yang radikal dan berbahaya. Benarkah ?
Tentu Indonesiaku sedang tidak baik-baik saja. Merasa ada yang salah, maka dari itu mahasiswa turun ke jalan dengan lantang meneriaki “Tolak RUU KUHP!” bersama. Poster senada bertengger di sekitar jalan Gedung DPR dengan harapan agar Dewan Perwakilan Rakyat tergugah.
Aksi ini seolah mengingatkan kita akan peristiwa 98 yang mengakibatkan lengsernya presiden ke-2 Republik Indonesia, Alm. Soeharto. Kali ini DPR yang dituju. Permasalahan dimulai dengan adanya Revisi UU KPK dan RUU KUHP yang dianggap memiliki pasal-pasal kontroversi. Alih-alih ditunda, mahasiswa tidak cukup atas jawaban yang tidak memiliki kepastian.
“Tunda itu kan bahasa politisnya, yang ada itu tolak atau terima!” kata M. Atiatul Muqtadir selaku Ketua BEM di Universitas Gadjah Mada saat menghadiri acara Indonesia Lawyers Club, 25 September 2019.
Namun tampaknya, para petinggi pemerintahan tidak terlalu mengindahkan aksi para demonstran yang turun ke jalan. Mereka menganggap hal tersebut adalah tindakan yang tidak perlu dan salah bahkan mengganggu ketertiban umum.
Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo sempat memberikan apresiasi kepada mahasiswa atas demonstrasi yang dilakukan adalah bentuk demokrasi. Namun dihimbau kembali untuk tidak merusak fasilitas umum. Kemudian Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yakni Wiranto mengatakan bahwa aksi demontrasi sebaiknya dilakukan dengan jalur yang lebih aman dan terhormat.
Tetapi baru-baru ini, ia menambahkan statement menohok yang menyatakan kekhawatirannya terhadap aksi para demonstran : “Gerakan gelombang baru ini nanti, kita harus waspada karena akan mengarahkan kelompok Islam radikal, kelomok Islam garis keraslah istilahnya.” Ia menghimbau kepada buruh dan supporter sepak bola agar tidak terpengaruh untuk membuat kekacauan di negeri ini.
Tentu pernyataan tersebut tidak bisa kita telan secara mentah-mentah. Mahasiswa membantah adanya kalimat “Islam Radikal” yang menunggangi aksi demonstran mereka. “Kami hanya ingin mengisi pos-pos kritis yang hari ini hilang!” kata Sultan Rivandi selaku ketua BEM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada acara Kupas Tuntas, CNN Indonesia.
Kalimat ini merupakan bentuk bantahan yang dituduh oleh bapak Menko Polhukam kepada mahasiswa. Bahkan anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem, Zulfan Lindan menambahkan pernyataan Wiranto merupakan bentuk kepanikan negara.
Kemudian Rocky Gerung menyatakan bahwa narasi yang dibuat oleh Wiranto adalah narasi yang norak dan terkesan menakut-nakuti masyarakat Indonesia. “Demonstrasi merupakan hak untuk menyampaikan pemikiran.” Tambanhnya lagi.
Narasi yang dibuat Wiranto membuat kita de javu pada peristiwa 98. Ia menggunakan narasi yang sama untuk melemahkan aksi demonstran. Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan membuat narasi konspiratif tak terbukti yang terkesan mengadu domba.
“Pola yang digunakan masih tetap sama, bahkan oleh orang yang sama.” Kata Direktur Amnesty International Indonesia,Usman Hamid dalam acara Kupas Tuntas, CNN Indonesia, 28 September 2019.
Lalu bagaimana kelanjutan Indonesia selanjutnya ? Akankah Dewan Perwakilan Rakyat mendengarkan aspirasi Rakyat, atau bahkan menjadi Dewan Pengkhianat Rakyat ?
Comments