Penulis: Aziz Ali Haerulloh
Editor: Rafidah Alta Nefi
Sudah menjadi rahasia umum kalau musim hujan tiba di Kecamatan Rancaekek seringkali terjadi banjir, terutama disepanjang jalan bypass Bandung-Garut yang termasuk ke daerah Rancaekek. Sepanjang jalan itu terdapat deretan pabrik-pabrik tekstil yang menjadi penyumbang sampah terbesar saat hujan tiba. Banjir adalah konsekuensi logis di Kecamatan Rancaekek, apabila hujan deras tiba berimplikasi terhadap peningkatan volume air sehingga banjir yang terjadi di Rancaekek bukan hanya merugikan warga sekitar yang rumahnya terendam banjir tetapi juga komuter yang melintasi jalan bypass sepanjang daerah pabrik tekstil terpadu di Jawa Barat.
Sekolah-sekolah, pelajar dan para pekerja menjadi penerima “manfaat” banjir Rancaekek yang tidak kunjung membaik dari tahun ke tahun. Sebagian besar dari pabrik-pabrik di Rancaekek, seringkali membuang limbahnya pada saat hujan turun sehingga banjir merupakan suatu keniscayaan ketika musim hujan di Kecamatan Rancaekek.
Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2014-2019) jalan di sepanjang pabrik-pabrik Rancaekek, mengalami revitalisasi yakni perluasan saluran-saluran pembuangan air dan trotoar. walaupun saluran-saluran pembuangan diperluas tetap saja ketika musim hujan, volume air dalam saluran pembuangan tidak dapat menampung air limbah kiriman dari beberapa pabrik disekitarnya.
Menurut analisis penulis pemerintah gagal memahami permasalahan utama dari banjir yang setiap tahun menghantui masyarakat Rancaekek dan para komuter yang setiap hari melintasi bypass Bandung-Garut. salah satunya termasuk daerah Kecamatan Rancaekek yang dihuni oleh pabrik-pabrik tekstil terbesar di Indonesia.
Penulis yakin permasalahan utama banjir Rancaekek disebabkan oleh pengolahan limbah pabrik dan pembuangannya yang kurang tepat dalam pemilihan tempat serta tidak tepat waktu. Pertama, pabrik-pabrik di Rancaekek berdiri di daerah yang tidak memiliki resapan air yang baik. Kedua, Rancaekek secara arti nama daerah atau akrab disebut toponimi merupakan daerah berawa-rawa sehingga daerah ini sulit menyerap air ketika musim hujan tiba. Ketiga, Pabrik-pabrik di daerah Rancaekek tidak menyediakan pusat makanan atau perbelanjaan yang terpadu di dalam kompleks pabrik untuk para pegawainya, serta tidak menerapkan prinsip yang ramah lingkungan (zero waste) dalam aktifitas jual-beli.
Ada kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan Rancaekek akan tetap seperti itu apabila kebijakan oknum-oknum pemerintah kecamatan, kabupaten, dan provinsi masih “melindungi” pabrik-pabrik nakal serta tidak mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dalam rangka membebaskan Jabar (Jawa Barat) dari banjir. Jawa Barat bebas banjir masih jauh dari jangkauan, hal ini memungkinkan semua stakeholders mendukung program pemerintah.
Banjir adalah peristiwa yang bisa diakibatkan oleh dua yaitu pihak manusia dan alam. Namun sudah sepatutnya sebagai manusia kita sadar, bahwa Rancaekek adalah daerah yang memiliki tipe tanah berawa-rawa. Sehingga membutuhkan usaha ekstra untuk mendirikan kompleks pabrik dengan ekosistem yang baik sesuai kebutuhan serta tidak merugikan pihak-pihak lainnya.
Oleh karena itu, penulis menawarkan solusi kepada pemerintah Kecamatan Rancaekek dan Kabupaten Bandung untuk bersinergi dalam mengurangi sampah plastik dari aktifitas jual-beli (perdagangan). Salah satunya dengan membudayakan belanja dengan membawa tas belanja atau kantong sendiri, serta menetapkan denda bagi rumah makan yang menggunakan atau memberikan plastik sebagai bungkus makanan untuk para pembelinya.
Comments