top of page
Writer's pictureGenius Media

Rasa Syukur melalui Nadran, Sang Pesta Laut.

Penulis : Robi Gunawan S.

Editor : Tina Safta Martiana


Salah satu rangkaian tradisi nadran (sumber: inovasiunstrat.com)

Hangatnya pemberitaan di jagat dunia maya beberapa waktu lalu mengenai

Tsunami yang menerjang Sulawesi Tengah, memunculkan pernyataan bahwa

adanya Tsunami diakibatkan karena adanya “larung saji” atau sedekah laut. Jika

dikaji lebih jauh, kejam memang tudingan yang memojokkan tersebut, terlebih

dilontarkan saat orang-orang harus kehilangan segalanya. Hal itu tentu

mengundang berbagai persepsi dan reaksi dari masyarakat.


Gen, kita harus sadar bahwa kebudayaan merupakan salah satu upaya

akulturasi, terutama akulturasi terhadap agama. Tau gak sih, kebanyakan

masyarakat pesisir Indonesia pasti memiliki ritual yang berhubungan dengan Laut.

Pun pada masyarakat pesisir Cirebon. Yups, kita panggil saja Nadran!


Nadran memang telah mendarah daging di kalangan masyarakat Cirebon,

khususnya bagi masyarakat pesisir Cirebon. Menurut Budayawan Cirebon, R.

Panji Jaya, Nadran berasal dari kalimat nadzar atau janji. Sementara itu,

Mustaqim Asteja yang merupakan salah seorang sejarawan Cirebon memberi

pengertian bahwa Nadran sebagai nadzar yang harus dipenuhi dengan landasan

syariat Islam. Adapun Opan menyatakan bahwa nadranan itu padanan kata dari

sedekah laut. Dian Saputra, pelaku dari sedekah laut, Nadran memiliki pengertian

budaya yang digunakan sebagai media mengungkapkan rasa syukur kepada yang

Maha Esa. Dari beberapa pernyataan yang diungkapkan, Nadran memang dikenal

sebagai suatu bentuk budaya masyarakat pesisir Cirebon yang berakar dari budaya

Islam yang diambil dari kata nadzar.


Sama gak ya nadzar dalam bahasa Arab dan nadzar yang dimaksud dalam

nadran di Cirebon?


Yups! Memang benar Gen! Nadzar yang dimaksud memang sama dengan

apa yang terdapat dalam ajaran Islam, dimana hukumnya wajib dipenuhi.


Kilas Balik Nadran

Penasaran gak sih bagaimana asal-muasal Nadran itu sendiri?

Menurut R. Panja Jaya, sejarah Nadran dapat di tarik akar sejarahnya dalam

medio abad ke 15 awal di wilayah Cirebon. Saat itu di wilayah Cirebon berdiri

kerajaan Singapura. Kala itu Raja dan pembesar istana sedang makan bersama di

pinggir laut dan seorang resi mendengar bahwasanya penghuni makhluk halus laut

meminta makanan tersebut. Mendengar hal tersebut, Ki Gedeng Tapa sebagai

kepala adat dan Ki Jumajan Jati sebagai penjaga pelabuhan Gunung Sembung

berjanji akan memberi para makhluk halus tersebut makanan pada tahun

berikutnya. Hal itulah yang melatarbelakangi adanya Nadran di wilayah Cirebon.

Pada jaman kolonial, pelaksanaan Nadran dilaksanakan untuk tetap menjaga

wibawa keraton , sementara itu pada jaman Jepang kemungkinan Nadran jarang

dilaksanakan mengingat kedatangan Jepang hanya untuk mencari bahan-bahan

pendukung Perang Asia Timur Raya dan tidak terlalu memikirkan hal seperti

Nadran.


Nadran sebagai salah satu upacara adat di wilayah pesisir Cirebon memiliki

beberapa tahapan dalam menentukan pelaksanaan Nadran. Menurut Dian Saputra,

Nadran umumnya dilaksanakan pada bulan-bulan menjelang maulud Nabi

Muhammad S.A.W dalam kalender Jawa. Setelah itu, terjadi perundingan antar

masyarakat juga tokoh adat, serta nelayan dan pejabat, terkait teknis dan anggaran

dana untuk sesaji, yakni kerbau. Kerbau ini nantinya disembelih dan hanya

kepala kerbaunya saja yang dihanyutkan. Lho, kok?


Dipilihnya kepala kerbau hal itu karena kerbau selain susah dimakan kepalanya,

hal itu digemari oleh plankton sehingga terjadi hubungan timbal balik yang

menguntungkan. Selain daripada itu, dipilihnya kepala kerbau mengikuti tradisi sebagai bentuk upaya syiar dakwah Islam layaknya jaman Wali Sanga dahulu .

Tapi, adanya kepala kerbau ini tidak selalu diharuskan dan bersifat wajib gen!


Hal ini juga bergantung penghasilan nelayan dan masyarakat satu tahun ke belakang.

Jika banyak maka dapat di beli lebih dari 5 kerbau untuk acara Nadran .

Rangkaian selanjutnya adalah, adanya tahlilan dan pengiriman doa. Nah,

saat ini kepala kerbau yang sudah terpisah dari badannya diberi doa oleh ketua

adat. Hal ini menurut R. Panji Jaya sebagai makanan untuk makhluk halus, karena

makhluk halus sejatinya menginginkan doa juga dari manusia . Setelah acara

berdoa selesai, kepala kerbau dan segala perhiasan dari buah-buahan, ataupun

hasil alam ditaruh di kapal untuk dibawa ke tengah laut pada ke esokan hariya.

Pada acara inti yaitu pelepasan kepala kerbau sehari setelah didoakan,

pertama-tama dibuka oleh pejabat Pemerintahan dan diberi doa kembali. Setelah

itu bersama-sama dibawa ke tengah laut dan dilemparkan begitu saja beserta

suguhan alam lainnya.


Setelah acara pelepasan sesaji tersebut ke tengah laut, malam harinya

diadakan pagelaran Wayang Baduk Busu. Baduk Busu dipilih dengan syair-

syairnya karena merasa mewakili cerita tentang kehidupan laut. Pagelaran wayang

disertai membawa air laut didepan wayang tersebut. Setelah acara semalam suntuk

tersebut, para nelayan langsung ke kapalnya dan membawa air laut yang sudah

diberi wejangan dan doa dalam wayang Baduk Busu untuk dilapkan ke kapal

mereka.


Ets, itu bukan sembarang bersih-bersih ya gen!


Mereka melakukan itu dengan harapan tangkapan mereka setahun ke depan akan

lebih banyak .



76 views0 comments

Comments


bottom of page