Wayang Purwa adalah salah satu kebudayaan Indonesia hasil dari akulturasi antara pra Hindu dan agama Hindu bahkan akulturasi tersebut sampai saat Islam jaya di Nusantara. Wayang Purwa melintasi jaman di Nusantara dan bertahan sampai sekarang. Hal itu karena Wayang Purwa mampu menyesuaikan diri dan cerita sesuai jamannya, dari Pra-Hindu, Hindu-Budha bahkan sampai jaman Islam.
Menilik sejarah Wayang Purwa, lumayan sulit dicari, namun pada saat Raja Jayabaya (1019-1049) memimpin di Kerajaan Kediri, Wayang Purwa pernah dijadikan media hiburan. Terkait pertunjukkan yang digelar juga terdapat pada sastra karya Mpu kanwa berjudul Harjuna Wiwaha. Penggunaan Wayang juga dapat digunakan sebagai media dakwah penyebaran Islam kala itu, khususnya di Pulau Jawa oleh para Wali Sangaa. Wali Sanga menilai hal itu berhasil karena Wayang sudah ada di Nusantara, khususnya Jawa sejak lama, sehingga memanfaatkan media Wayang untuk menyebarkan Islam dengan Wayang tersebut dimodifikasi.
Wayang saat jaman Islam berbeda dengan saat jaman Hindu-Budha, seperti penggambaran manusia dan hewan disamarkan karena khawatir menimbulkan perbuatan menyekutukan Allah. Pembuatan wayang jaman Islam menggunakan stilasi dengan menggambar muka dari samping. Selain itu, tangan wayang tersebut dibuat panjang sampai menyentuh kaki. atribut yang pada jaman Hindu-Budha hanya digambar, maka saat jaman Islam hal tersebut digambar nyata. Atribut juga mewakili peran dalam wayang tersebut, ada yang berperan kalangan raja yang dinamakan raton, ada yang berperan kalangan ksatria yang dinamakan satria, ada yang berperan menjadi perempuan yang dinamakan putren dan ada juga yang berperan sebagai prajurit, dinamakan bala.
Berikut Akulturasi ajaran Islam dalam Wayang Purwa ialah :
1. Terdapatnya penggolongan tokoh kanan yang berperan sebagai orang yang shaleh dan termasuk ksatria. Dalam hal ini, para Walisongo sampai mengutip ayat Al-Qur’an tentang sebutan golongan kanan yang dinamakan Ashhabulyamin. Contoh tokohnya adalah Semar (seorang yang meluruskan hal yang tidak benar), Petruk (seorang yang ceria dan optimis), dan Bagong (seorang yang pasrah).
2. Terdapatnya penggolongan tokoh kiri yang berperan sebagai orang yang berkhianat, perusak, Individualis dan penipu serta merupakan abdi dari raja-raja Sabrang yang memiliki watak pemarah. Dalam hal ini juga para Wali Sanga sampai mengutip ayat Al-Qur’an tentang sebutan golongan kiri yang dinamakan Ashhabussymaal. Contoh tokohnya adalah Togog (seorang yang tampan namun perilakunya buruk), dan Bilung (seorang yang pemarah). Dalam pagelaran seperti di Surakarta, tokoh-tokoh kiri merupakan jalan untuk hadirnya empat raksasa seperti Cakil, dan Rambut Geni yang merupakan perwujudan dari nafsu manusia.
Referensi :
Sunarto. 1989. Wayang Kulit Purwa: Aspek Bentuk dan Simbolis pada Tokoh Panakawan. Yogyakarta : Institut Seni Indonesia.
Penulis: Robi Gunawan
Comments