top of page
Writer's pictureGenius Media

Kematian Morsi: Efek Rivalitas Dua Kekuatan

Updated: Jun 28, 2019

Penulis: M. Dzauhar

Editor: M. Dzauhar

Mohammed Morsi di dalam selnya (Sumber: Stuff)

Tepat tanggal 17 Juni 2019 waktu Kairo, mantan Presiden Mesir Mohammed Morsi menghembuskan nafas terakhirnya di ruang sidang pengadilan. Ketika itu Morsi baru sempat berpidato selama 20 menit dalam sidang perkara spionase yang dituduhkan kepadanya saat ia menjabat sebagai Presiden Mesir sekitar 2012-2013.


Dilansir dari Al-Jazeera, otoritas Mesir menyatakan penyebab kematian mantan Presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis tersebut adalah Serangan Jantung. Meski demikian, Human Rights Watch menyatakan kematian tersebut disebabkan gagalnya otoritas Mesir menyediakannya perawatan kesehatan yang pantas sebagai hak daripada setiap tahanan.


Senada dengan Human Rights Watch, Abdullah Mohammed Morsi yang merupakan putra Mohammad Morsi mengatakan, kematian tersebut disebabkan otoritas Mesir mengurung ayahnya di sel isolasi secara terus menerus serta kurangnya perawatan terhadap penyakit yang dideritanya dari mulai Darah Tinggi hingga Diabetes.


Dilansir dari Reuters, sampai saat Abdullah belum mengetahui pasti lokasi penguburan jenazah ayahnya, karena usulan untuk dimakamkan di tempat asalnya yaitu Sharqiya, Delta Nil, ditolak oleh otoritas Mesir.


Korban Rivalitas Kekuatan Politik di Mesir


Nasib Morsi sebagai tahanan adalah dampak intervensi kekuatan militer terhadap perpolitikan di Mesir yang ditunjukan lewat kudeta pada 3 Juli 2013 di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah el-Sisi, bersamaan pula disebabkan oleh ketidakpuasan golongan minoritas terhadap kebijakan konstitusi yang ditawarkannya pada 2012.


Selain sebagai presiden Mesir yang dipilih secara demokratis, Morsi dapat dikatakan sebagai simbol kekuatan sipil pada perpolitikan Mesir yang selama ini terbatasi oleh supremasi kekuatan militer sejak Mayjen Mohamed Neguib merebut kekuasaan dari tangan Raja Farouk dan memproklamasikan Republik Mesir lewat Revolusi Mesir pada 23 Juli 1952.


Neguib dan Naseer ketika merayakan berhasilnya Revolusi Mesir 1952 (Sumber: Wikipedia)

Selama Neguib berkuasa hampir seluruh pejabat pemerintahan didominasi oleh para perwira militer dari tingkat nasional hingga daerah. Struktirisasi tersebut sekan membangun sebuah supremasi militer yang kokoh, meskipun Neguib kemudian digulingkan oleh rekannya sendiri yaitu Letkol Gamal Abdul Naseer


Supremasi militer terus berkembang dari mulai Naseer, Kolonel Anwar Sadat, hingga Marsekal Hosni Mubarak. Bahkan pada masa kekuasaan Anwar Sadat, supremasi tersebut mulai menjalar hingga ke bidang ekonomi dengan didirikannya National Service Product Organization (NSPO) pada 1979, yang bertanggung jawab atas kebutuhan sandang dan papan di mesir.


Kemudian dari NSPO, ketika Hosni Mubarak berkuasa dilansir dari Qantara, setiap perwira tinggi militer diberi hak untuk memiliki dan mengolah lahan-lahan pertaninan kosong, lalu keuntungannya dapat dinikmati oleh pemiliknya sejak 1997.


Sementara kekuatan militer dapat mengendalikan hampir seleuruh aspek di Mesir dari ranah politik, kekuatan sipil seakan terbagi dalam dua arah. Sebagian rela bergabung dan berada di bawah supremasi tersebut, sebagian lagi mencoba bersaing seraya bertahan dari gempuran militer yang dilancarkan lewat serangkaian pembatasan hingga penahanan contohnya Ikhawanul Muslimin.


Selama keadaan tersebut berlangsung hampir kemungkinan kecil untuk kekuatan sipil dapat mengambil kembali ranah politik dari tangan kekuatan militer, sampai akhirnya peluang tersebut muncul tatkala gelombang revolusi Arab Spring mulai menyentuh Mesir pada 25 Januari 2011.


Demonstrasi di London menuntut mundurnya militer dari pemerintahan Mesir pada Arab Spring 2011 (Sumber: Alaraby)

Walaupun symbol supremasi tersebut yaitu Husni Mobarok dapat ditarik keluar, tetapi pengaruh militer dalam segala aspek kehidupan Mesir masih disegani. Tetapi momen tersebut dapat membuat terwujudnya antara kekuatan militer dan sipil untuk Mesir yang baru di masa depan.

Gerbang menuju Mesir baru lalu diwujudkan dengan diselenggarakannya pemilihan umum pertama di Mesir yang kemudian tidak hanya untuk membuat kondisi yang lebih baik dari sebelumnya, tetapi juga sebuah titik bagi kekuatan sipil untuk membangun kembali supremasi politiknya di Mesir.


Sayangnya kondisi tersebut hanya berlangsung selama satu tahun, dan hingga saat ini supremasi militer kembali naik ke permukaaan. Bahkan kembalinya supremasi militer tersebut selain masih adanya pengaruh, juga ternyata mendapat dukungan secara terisirat dari negara-negara sekitarnya seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab.


Namun, rivalitas antara dua kekuatan tersebut masih berlangsung meskipun dilakukan secara terbatas sperti seblum Arab Spring berlangsung. Karena hal yang menjadi pertaruhan bukan saja masalah internal, tetapi juga eksternal yaitu kedudukan Mesir bagi kepentingan pihak -pihak tertentu.


Bagaimana menurutmu?

8 views0 comments

Comments


bottom of page