top of page
Writer's pictureGenius Media

Meski Propaganda, Masih Primadona

Ilustrasi menonton film Pengkhianatan G30SPKI (Oleh: Jojo)

Sekitar peringatan peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965), film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI kembali diputar baik secara perseorangan berupa nonton bareng, ataupun kini mulai ditayangkan di dua televisi swasta. Penayangan film karya Arifin C Noer yang setahun lalu sempat menuai polemik karena instruksi dari Panglima TNI saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo untuk penayangannya secara massal, kembali terjadi lagi ketika Panglima TNI saat ini Marsekal Hadi Tjahjanto ditantang untuk menginstruksikan penayangan baik ke kalangan militer maupun masyarakat.


Memang penayangan film yang berdurasi 4 jam telah menjadi sesuatu yang tidak lumrah lagi dilakukan sejak dihentikan sejak 24 Oktober 1998 Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dengan alasan tidak sesuai lagi dengan semangat Reformasi saat itu, meskipun film tersebut masih dapat ditemukan lewat situs berbagi video seperti Youtube. Meski kontroversial sampai saat ini, film tersebut masih menjadi referensi visual satu-satunya yang dapat menggambarkan bagaiamana peristiwa G30S terjadi. Apakah yang perlu dilakukan dilakukan pembuatan kembali agar sesuai dengan selera masa kini atau pembuatan film tandingan dari perspektif independen atau bahkan yang tandingan?


Bersamaan dengan dihentikan film tersebut, mulai bermunculan baik film dokumenter maupun fiksi sejarah yang menggambarkan sisi lain dari sekitar peristiwa tersebut, terutama mengenai pembantai terhadap bekas anggota ataupun yang tertuduh telibat dengan PKI, seperti Act Of Killing (Jagal) dan Senyap karya Joshua Openheimer. Kemunculan seakan sebagai anti tesis terhadap isi film Pengkhinatan G30S PKI yang selama ini dicekoki oleh pemerintah Orde Baru setiap peringatan peristiwa tersebut.


Sayangnya film tersebut memang mengungkap hal-hal yang tidak diperlihatkan oleh Pengkhianatan G30S PKI, tetapi masih belum bisa sejajar dalam emnjelaskan secara detail peristiwa malam 1 Oktober 1965. Kalupun dibuat film yang posisinya independent cukup sulit untuk memperoleh sumber atau referensi guna membuat jalan ceritanya, mengingat sumber yang diklaim lengkap dalam menjelasakannya ialah milik TNI Angkatan Darat, sedangkan bila sebagai tandingan terbilang lemah karena selain mengandalkan sumber lisan dari mereka yang pernah terlibat PKI dengan jumlah tinggal dihitung jari, pernyataannya mungkin terbatas mengingat usia mereka rata-rata telah lanjut usia. Kalaupun akan dirilis, kemungkinan akan timbul polemik karena masih cukup besar kalangan yang masih menjadikan penggambaran dalam film produksi Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) rilis tahun 1981 tersebut sebagai dogma dalam memandang peristiwa G30S.


Memasuki 2017, ketika mulai banyak keinginan pihak-pihak tertentu untuk penayangan kembali film tersebut lalu ditambah instruksi Panglima TNI saat itu, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya akan penayangan kembali film tersebut kepada publik, hanya saja perlu untuk dibuat kembali agar lebih kekinian.


Pembuatan kembali film lama atau dikenal dengan nama remake entah dengan pembaruan ataupun latar yang ada mulai marak saat ini, ambil contoh seperti film Bulan Di Atas Kuburan dirilis pada 1973 kembali dibuat pada 2015, Film Badai Pasti Berlalu dirilis pada 1977 kembali dibuat pada 2007, bahkan film yang cukup tua rilisnya yaitu Tiga Dara pada 1956 dibuat kembali pada 2016. Bila dibandingkan eksistensinya di masyarakat, Film Pengkhianatan G30S PKI menjadi yang teratas saat itu, karena pembuatan dan publikasinya memang didukung penuh oleh rezim saat itu.


Bilamana film tersebut di-remake, menurut pernyataan Jajang C Noer seperti yang dilansir dari situs okezone.com 17 September tahun lalu, prosesnya tidaklah mudah mengingat masih terlekatnya kontroversi sejarah yang disampaikan di masyarakat. Selain itu tentu remake film yang mengangkat Amorso Katamsi sebagai pemeran Soeharto dalam cerita akan membutuhkan kerja keras untuk membuat situasi sekitar peristiwa terjadi baik dari sesuainya properti hingga pemeran yang tentunya akan memakan waktu dan biaya cukup besar.

Ditambah lagi, produser yang berharap akan adanya balik modal akan bekerja cukup intensif menggandeng publik untuk menonnton terutama generasi muda. Menurut Sejarawan Anhar Gonggong, perilisan ataupun pembuatan kemabli film G30S PKI dinilai akan menjadi sia-sia, karena perkembangan teknologi informasi memungkinkan mereka yang penasaran mengetahu peristiwa tersebut dapat memperolehnya lewat internet dengan berbagai bentuk dari mulai teks higga visual, lalu tanggapan masyrakat yang menurutnya akan menganggap film tersebut sebagai leluncon saja.


Dari segala yang diuraikan diatas, baik remake ataupun membuat film tindangan tentu tidak lepas dari resiko. Tetapi bukan berarti sebagai sebuah takdir yang absolut terjadi, bilamana bebrapa generasi muda bangsa ini dengan kreatifitas serta bakat mereka terutama dalam mengolah suatu objek menjadi sesuatu yang menarik dimata publik membuka kepeduliannya. Bisa jadi tidak hanya terwujudnya karya yang dapat menjelaskan peristiwa G30S secara jelas dan berimbang, tapi juga peristiwa lainnya yang jarang terungkap serta diketahui publik.


 

Penulis: M.Dzauhar.Azani

23 views0 comments

Comments


bottom of page